MAKAL NEGARA DAN WARGANEGARAAN
DI SUSUN OLEH:
J
U
N
A
R
T
O
N
NIM:
12020103023
JURUSAN SAYARIAH EKONOMI SISLAM/EI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
SULTAN QAIMUDDIN
KENDARI
2O12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum
berfungsi untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta kedamaian di
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu terdapat adagium “Ibi ius ubi Societas “, (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).
Dalam
perkembangan hukum, dikenal dua jenis hukum yaitu: hukum Privat dan
hukum Publik. Hukum Privat mengatur hubungan antara orang perorangan,
sedangkan hukum publik mengatur hubungan antara negara dengan individu.
Perkembangan
hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Menurut mazhab
Jerman, perkembangan hukum akan selalu tertinggal dari perkembangan
masyarakal. Perkembangan di dalam masyarakat, menyebabkan pula
perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Kondisi demikian
mendorong terjadinya perkembangan di bidang hukum privat maupun hukum
publik. Kegiatan yang pesat di bidang ekonomi misalnya, menurut sebagian
masyarakat menyebabkan peraturan yang ada di bidang perekonomian tidak
lagi dapat mengikuti dan mengakomodir kebutuhan hukum di bidang ini,
sehingga dibutuhkan aturan yang baru di bidang hukum ekonomi.
Hukum
Ekonomi Keuangan merupakan salah satu bagian dari Hukum ekonomi yang
salah satu aspeknya mengatur kegiatan di bidang Pasar modal. Marzuki
Usman menyatakan pasar modal sebagai pelengkap di sektor keuangan
terhadap dua lembaga lainnya yaitu bank dan lembaga pembiayaan.[1] Pasar Modal merupakan tempat dimana dunia perbankan dan asuransi meminjamkan dananya yang menganggur.[2]
Dengan kata lain, Pasar Modal merupakan sarana moneter penghubung
antara pemilik modal (masyarakat atau investor) dengan peminjam dana
(pengusaha atau pihak emiten).
Keberadaan pasar modal menyebabkan semakin maraknya kegiatan ekonomi, sebab kebutuhan keuangan (financial need) pelaku kegiatan ekonomi, baik perusahaan‑perusahaan swasta, individu maupun pemerintah dapat diperoleh melalui pasar modal.
Dalam
UUPM, selain dimuat sanksi perdata dan administrasi, juga dilengkapi
dengan sanksi pidana yang diatur dalam Bab XV tentang “Ketentuan Pidana”
(Pasal 103‑ Pasal 110). Perumusan sanksi pidana dalam Undang‑Undang ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran hukum (tindak pidana)
pasar modal, baik yang berkualifikasi sebagai kejahatan, maupun
pelanggaran.
Berdasarkan artikel pada ”Kompas Cyber Media, Politik & Hukum, Sabtu, 17 Februari 2007 tentang
Sosok dan Pemikiran , Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi oleh
Khaerudin dan mohammad baker”, maka sangat menarik untuk dibahas secara
lebih lanjut, maka akan bahas salah satu kasus diatas yaitu tentang
penyimpangan – penyimpangan yang terjadi di dalam Pasar Modal
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan artikel pada ”Kompas Cyber Media, Politik & Hukum, Sabtu, 17 Februari 2007 tentang
Sosok dan Pemikiran , Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi oleh
Khaerudin dan mohammad baker”, maka banyak sekali permasalahan yang
terdapat di dalam perekonomian di Indonesia, salah satu nya adalah
tentang Pasar Modal, banyak
pengusaha curang yang bisa memanfaatkan kelemahan produk hukum ekonomi
di Indonesia termasuk penyimpangan terhadap UU No 8/1995 tentang Pasar
Modal, sehingga saya menganbil permasalahan tersebut yaitu “Bagaimanakah pandangan hukum Ekonomi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku‑pelaku ekonomi, yang berkaitan dengan pasar modal, selama ini” ?
C. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan yaitu untuk :
Untuk
memberikan pemaparan tentang pandangan hukum ekonomi terhadap
panyimpangan – penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku – pelaku ekonomi,
yang berkaitan dengan pasar modal selama ini.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Penyimpangan – penyimpangan di dalam Pasar Modal
Secara
umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan
perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna
menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut,
sedangkan menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan‑keinginan hukum (yaitu
pikiran‑pikiran badan pembuat undang‑undang yang dirumuskan dalam
peraturan‑peraturan hukum) menjadi kenyataan.[3]
Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai‑nilai yang terjabarkan di dalam
kaedah‑kaedah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara,
dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakannya
keberhasilan penegakan hukum mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negatif atau positifnya
terletak pada isi faktor‑faktor tersebut. Faktor‑faktor ini mempunyai
yang saling berkaitan dengan eratnya, merupakan esensi serta tolak ukur
dari effektivitas penegakan hukum. Faktor‑faktor tersebut adalah :[4]
1. hukum (undang‑undang).
2, penegak hukum, yakni fihak‑fihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. masyarakat, yakni dimana hukum tersebut diterapkan.
5. dan faktor kebudayaan, yakni sebagai. hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Di
dalam suatu negara yang sedang membangun, fungsi hukum tidak hanya
sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga stabilitas
semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan pembaharuan atau
perubahan di dalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh Roscoe Pound (1870‑1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence, hukum adalah as a tool of social engineering disamping as a tool of social Control
Dalam penegakan hukum ekonomi dalam kegiatan pasar modal, maka diperlukan konsep penegakan hukum yang lain, yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penegakan hukum dalam arti Law Enforcement. Joseph Golstein, membedakan penegakan hukum pidana atas tiga macam yaitu [5]
Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif. Penegakan hukum yang pertama ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana. Disamping itu, hukum pidana substantif itu sendiri memiliki kemungkinan memberikan batasan-batasan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut dengan area of no enforcement.
Kedua, Full Enforcement, yaitu Total Enforcement setelah dikurangi area of no enforcement, dimana penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, tetapi menurut Goldstein hal inipun sulit untuk dicapai (not a realistic expectation), sebab
adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal,
alat-alat dana dan sebagainya yang dapat menyebabkan dilakukannya
diskresi
Ketiga, Actual Enforcement, Actual Enforcement ini baru dapat berjalan apabila, sudah terdapat bukti-bukti yang cukup. Dengan
kata lain, harus sudah ada perbuatan, orang yang berbuat, saksi atau
alat bukti yang lain, serta adanya pasal yang dilanggar.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas, penegakan hukum dapat
dibedakan atas dua macam, yaitu penegakan hukum dalam arti luas seperti
yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dari buku Hoefnagels, serta
penegakan hukum dalam srti sempit yang lebih ditujukan pada penegakan
peraturan perundang-undangan atau yang lebih dikenal dengan Law Enforcement
Penegakan hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pasar Modal
Bapepam adalah lembaga regulator
dan pengawas pasar modal, dipimpin oleh seorang ketua, dibantu seorang
sekretaris, dan tujuh orang kepala biro terdiri atas;
- Biro perundang-undangan dan Bantuan Hukum
- Biro Pemeriksaan dan Penyidikan
- Biro Pengelolaan dan Riset
- Biro Transaksi dan Lembaga Efek
- Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa
- Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil.
- Biro Standar dan Keterbukaan.
Bila
terjadi pelanggaran perundang-undangan pasar modal atau ketentuan di
bidang pasar modal lainnya maka, Bapepam sebagai penyidik akan melakukan
pemeriksaan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran tersebut, hingga
bila memang telah terbukti akan menetapkan sanksi kepada pelaku
tersebut. Penetapan sanksi akan diberikan atau diputuskan oleh ketua
Bapepam setelah mendapat masukan dari bagian pemeriksaan dan penyidikan Bapepam. Bila mereka yang dikenai sanksi dapat menerima putusan tersebut. Maka pihak yang terkena sanksi akan melaksanakan semua yang telah ditetapkan oleh Bapepam. Permasalahan
akan berlanjut bila sanksi yang telah ditetapkan tersebut tidak dapat
diterima atau tidak dilaksanakan, misalnya denda yang telah ditetapkan
oleh Bapepam tidak dipenuhi oleh pihak yang diduga telah melakukan
pelanggaran, maka akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan, dengan
menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang
berwenang melakukan penuntutan.
Demikian
pula dengan Bursa Efek, sebagai lembaga yang menyelenggarakan
pelaksanaan perdagangan efek, apabila di dalam melakukan transaksi
perdagangan efek menemukan suatu pelanggaran, yang berindikasi adanya
pelanggaran yang bersifat pidana, lembaga ini akan menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Bapepam untuk dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.
Kewenangan
melakukan penyidikan terhadap setiap kasus (pelanggaran peraturan
perundangan pidana) bagi Bapepam, diberikan oleh KUHAP seperti tercantum
di dalam ketentuan Pasal 6 (ayat 1) huruf (b). yang menyebutkan :
“Penyidik adalah aparat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”
Kewenangan ini merupakan pengejewantahan dari fungsi Bapepam sebagai lembaga pengawas.
Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995. Bapepam akan melakukan pemeriksaan bila :
1. Ada laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tentang adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal
2. Bila
tidak dipenuhinya kewajiban oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan,
persetujuan atau dari pendaftaran dari Bapepam ataupun dari pihak lain
yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam, dan
3. Adanya petunjuk telah terjadinya pelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal
Di
dalam melaksanakan fungsi pengawasan, menurut UUPM Nomor. 8 Tahun 1995
bertugas dalam pembinaan, pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan
pelaku ekonomi di pasar modal. Dalam melaksanakan berbagai
tugasnya ini, Bapepam memiliki fungsi antara lain, menyusun peraturan
dan menegakkan peraturan di bidang pasar modal, melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pihak yang memperoleh izin, persetujuan dan
pendaftaran dari Bapepam dan pihak lain yang bergerak di bidang pasar
modal, menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan
sanksi oleh Bursa Efek, lembaga kliring dan penjaminan, maupun lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lainnya.
Dengan
berbagai fungsinya tersebut, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan
kegiatan pasar modal yang teratur, dan efisien serta dapat melindungi
kepentingan pemodal dan masyarakat.
Dalam
melaksanakan fungsi penegakan hukum, Bapepam bersikap proaktif bila
terdapat indikasi pelanggaran peraturan perundang-undangan pasar modal.
Dengan melakukan pemeriksaan, dan atau penyidikan, yang didasarkan
kepada laporan atau pengaduan dari pelaku-pelaku pasar modal, data
tersebut dianlisis oleh Bapepam dan dari hasil tersebut dijadikan
konsumsi publik dengan melakukan pemberitaan melalui media massa.
Sejak tahun 1997, Bapepam melaksanakan press release secara berkala kepada masyarakat, antara lain melalui media massa dan media internet. Presss Release
yang dikeluarkan oleh Bapepam, merupakan bentuk publikasi dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat mengenai kondisi, dan keberadaan
suatu perusahaan, dan juga kebutuhan masyarakat akan informasi pasar
modal lainnya misalnya, bila ada kebijakan perundang-undangan yang baru
dari Bapepam. Selain itu pula, kebijakan
untuk selalu membuat laporan kepada masyarakat melalui press release ini
adalah merupakan perwujudan dari prinsip kejujuran dan keterbukaan
(tranparansi) yang dianut oleh lembaga pengawas pasar modal ini.
Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995, separti
halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi
dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal. Dari kasus-kasus pelanggaran perundang-undangan
di atas, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang kejahatan
pasar modal, bahwa selama ini belum ada satu kasuspun yang
penyelesaiannya melalui jalur kebijakan pidana, tetapi melalui
penjatuhan sanksi administrasi, yang penyelesaiannya dilakukan oleh dan
di Bapepam. Baru pada tahun 2004 terdapat satu kasus
tindak pidana pasar modal yang sudah sampai ke pihak kejaksaan, dengan
kata lain proses penyelesaiannya akan melalui sistem peradilan pidana.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana
terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2),
yaitu pelanggaran Pasal 23, Pasal 105, dan Pasal 109. Untuk jelasnya akan dikutip berikut ini;
Pasal 103 ayat (2)
Pelanggaran pasar modal disini adalah, pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu :
- Seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi tanpa mendapatkan izin Bapepam
- Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah)
Pasal 105
Pelanggaran
pasar modal yang dimaksudkan disini adalah pelanggaran Pasal 42 yang
dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu :
Menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana.
Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).
Pasal 109
Yang
dilanggar disini adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat
pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam
melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat
dalam pelanggaran UUPM
Kalangan
bisnis harus tetap mempertimbangkan di samping aspek hukum, juga
tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis
mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan
untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban
tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin
berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis.
Menurut tradisi, membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu
seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak,
larangan penyuapan. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan tanggung
jawah moral dari bisnis berkembang dari keputusan pemasaran seperti
melanggar etika menjual produk yang berbahaya. masalah pemberian upah
yang adil, tempat kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan buruh,
etika dalam merger dan akuisisi, sampai kepada kerusakan lingkungan.
Pendeknya semua keputusan bisnis, khususnya yang menimbulkan
ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan, yang mempengaruhi
banyak individu, organisasi lain dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat
menghadirkan masalah etika yang serius. Di dalam kenyataannya etika yang
ditegakkan atas dasar kesadaran individu-individu tidak dapat berjalan
karena tarikan berbagai kepentingan, terutama untuk mencari keuntungan,
tujuan yang paling utama dalam menjalankan bisnis. Oleh karenanya,
standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberikan
sanksi. Disinilah letaknya campur tangan negara dalam persaingan bebas
dan kebebasan berkontrak, untuk melindungi pihak yang lemah. Oleh karena
itu hukum juga sepanjang sejarahnya bersumber pada dan mengandung
nilai-nilai moral
Masa datang ini perlu memberikan prioritas pada Undang-Undang yang berkaitan dengan
akumulasi
modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk
mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis.
Optimalisasi sumber pembiayaan pembangunan memerlukan pembaruan
Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perseroan Terbatas,
Undang-Undang Pasar Modal. Indonesia juga harus menerapkan Undang-Undang
“money laundering” dengan konsekuen, antara lain untuk memberantas
kejahatan narkotika dan korupsi. Ekonomi pasar yang didominasi oleh
aktivitas pasar yang illegal akan tidak menjadi efisien, dan cenderung
akan mendorong ketidak adilan dan pemerasan.
Faktor
yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi
adalah apakah hukum mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan
“fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi
apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability)
adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum
untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu
langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian
besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi
melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness),
seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah
adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang
berlebihan
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN DAN SARAN
Dapat
disimpulkan perlu diperhatikan agar baik peraturan Hukum maupun
berbagai organisasi dan lembaga hukum yang ada, seperti DPR, Kepolisian,
Kejaksaan, Badan-badan Pengadilan maupun berbagai departemen yang
secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja pelaku
ekonomi Indonesia dan/atau asing yang beroperasi di Indonesia, dapat
berpengaruh positif terhadap kehidupan dan pembangunan ekonomi yang
sudah lama kita cita-citakan.
Untuk itu tentu saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Adanya kesepakatan secara nasional tentang paradigma sistem ekonomi
nasional seperti apa yang harus kita bangun, sesuai dengan kententuan
konstitusi-konstitusi kita, khususnyaPembukaan dan pasal 33 dan 34
juncto pasal 27 dan 28 UUD 1045 yang telah 4 (empat) kali di amandemen;
2.
Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik
antara para ahli di bidang ekonomi, termasuk para pengusaha dan
pengambil keputusan di bidang hukum (eksekutif, legislatif dan
yudikatif);
3.
Adanya kesadaran bahwa bukan saja hukum yang harus tunduk pada
tuntutan-tuntutan ekonomi, seperti di masa Orde Baru, sehingga segala
asas hukum harus minggir demi pencapaian tujuan di bidang ekonomi,
tetapi sebaliknya juga, bahwa untuk mendapat tujuan pembangunan ekonomi,
maka langkah-langkah di bidang ekonomi itu sendiri memerlukan kepastian
hukum dan jalur (channel) hukum, sehingga terjalin sinergi antara
bidang hukum dan ekonomi.
Sinergi
itu sendiri diharapkan akan memperkuat pembangunan ekonomi secara
sistematik maupun pembangunan Sistem Hukum Nasional, sehingga pada
gilirannya baik Sistem Ekonomi Nasional maupun Sistem Hukum Nasional
akan semakin mantap dalam perspektif Pembangunan yang Berkelanjutan.
Tentu
saja sistem ekonomipun harus juga mendukung pembangunan sistem hukum
secara positif, agar sistem hukum itu dapat lebih lagi mendukung
pembangunan sistem ekonomi nasional secara positif, dan seterusnya.
Tidak seperti dimasa lalu ketika pambangunan hukum diabaikan, dilanggar,
bahkan diinjak-injak oleh pelaku ekonomi maupun DPR dan Penguasa,
tetapi berteriakteriak menuntut adanya perlindungan hukum dan kepastian
hukum, begitu krisis moneter mengancam kelangsungan kehidupan dan
pembangunan ekonomi, yang nota bene disebabkan oleh sikap arogan para
ahli dan pelaku ekonomi
sendiri, seakan-akan Hukum hanya merupakan penghambat pembangunan
ekonomi saja
.
Hukum Sebagai Sistem
Biasanya
orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum
dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan
undang – undang saja.
Padahal,
peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsu saja dari keseluruhan
sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :
a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap (case law)
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar
hukum
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem
manajemen perkantoran
2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g.
budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif,
legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk
pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum
benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar
bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.
Maka
sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di
atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi
syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Irsan Nasarudin, M. dan Indra Surya, 2004, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta Y. Sr i Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Penerbit Salemba Empat, Jakarta:2000
Khaerudin dan mohammad baker, Kompas Cyber Media,Politik & Hukum
Sosok dan Pemikiran Tidak Ada yang Peduli pada Hukum Ekonomi
,Sabtu, 17 Februari
:
PROF. DR. C.F.G SUNARYATI HARTONO, S.H, UPAYA MENYUSUN HUKUM EKONOMI INDONESIA PASCA TAHUN 2003
Bapepam
“Apa
perbedaan antara hambatan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada
sikap kita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap
kesempatan; dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan.”
~ J. Sidlow Baxter ~
[1] Anuraga, Pandji dan Piji Pakarti, 2001, Pengantar Pasar Modal, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 5.
[2] Ibid., Hlm. 11
[3] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24.
[4] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.5.
[5] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 16.
HAK ASASI MANUSIA
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak asasi
manusia merujuk kepada hak yang dimiliki oleh semua insan. Konsep hak
asasi manusia adalah berdasarkan memiliki suatu bentuk yang sama
sebagaimana yang dimiliki oleh semua insan manusia yang tidak
dipengaruhi oleh asal, ras, dan warga negara. Oleh karena itu secara
umum hak asasi manusia dapat diartikan sebgai hak-hak yang telah
dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian Tuhan. Ruang
lingkup hak asasi manusia itu sendiri adalah:
1. Hak untuk hidup
2. Hak untuk memperoleh pendidikan
3. Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain
4. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
5. Hak untuk mendapatkan pekerjaan
Dalam
hal proses penegakan hukum, apabila implementasi lebih berorientasi
pada penghoirmatan terhadaphak asasi manusia maka akan lebih “menggugah”
masyarakat untuk menjunjung tinggi hukum itu sendiri.
Dalam
hubungannya dengan hal ini, hak asasi manusia memiliki dua segi yaitu
segi moral dan segi perundangan. Apabila dilihat dari segi moral, hak
asasi manusia merupakan suatu tanggapan moral yang didukung oleh anggota
masyarakat. Sehubungan dengan segi ini anggota masyarakat akan mengakui
wujud hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu, yang
dianggap sebagai sebagaian dari sifat manusia, walaupun mungkin tidak
tercantum dalam undang-undang. Jadi, masyarakat pun mengakui secara
moral akan eksistensi hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia.
Dari
segi perundangan, hak asasi manusia diartikan sebagai seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam
konteks nasional, tak dapat dipungkiri bahwa isi dari adat istiadat dan
budaya yang ada di Indonesia juga
mengandung pengakuan terhadap hak dasar dari seorang manusia. Apabila
dilihat dari konteks ini, maka sebenarnya bangsa Indonesia sudah
memiliki pola dasar dalam pengakuannya terhadap hak asasi manusia.
Dasar-dasar hak asasi manusia di Indonesia terletak pada pasal 27 ayat
1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan
dalam hubungannya dengan konteks internasional, hak asasi manusia (HAM)
merupakan substansi dasar dalam kehidupan bermasyarakat di dunia, yang
terdiri dari berbagai macam unsur adat istiadat serta budaya yang tumbuh
dan berkembang di dalamnya. Jadi yang dimaksud dengan hukum hak asasi
manusia internasional adalah hukum mengenai perlindungan terhadap
hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari
pelanggaran yang terutama dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya,
termasuk di dalam upaya penggalakan hak-hak tersebut. Oleh karena itu,
dengan dilakukan dialog dan pedekatan antar suku bangsa di dunia, maka
dimungkinkan dapat mewujudkan penerapan hak asasi manusia yang jujur dan
berkeadilan. Dalam hal hak asasi manusia dilihat dari konteks
internasional ini, tentu penerapan, mekanisme penegakan hingga
penyelesaiannya pun lebih kompleks bila dibandingkan dengan penanganan
hak asasi manusia dalam lingkup nasional.
Walaupun
perkembangan dunia sudah semakin maju dan kompleks, selama ini
penegakan hak asasi manusia hanya diikat perjanjian bilateral
antarnegara yang sifatnya moral. Padahal di sisi lain, masyarat
internasional harusloah tunduk pada mekanisme internasional dalam hal
penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, instrumen internasional
sangatlah dibutuhkan untuk mewujudkannya. Dalam hubungannya dengan
penulisan makalah ini, sebagai awal kita harus mengetahui mengenai
konsep hukum internasional itu sendiri. Hukum internasional diartikan
sebagai hukum yang hanya mengatur hubungan antar negara.
Kemudian pada masa setelah Perang Dunia ke-II diperluas hingga mencakup organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional yang memiliki hak-hak tertentu berdasarkan hukum internasional. Manusia sebagai individu dianggap tidak memiliki hak-hak menurut hukum internasional, sehingga manusia lebih dianggap sebagai obyek hukum daripada sebagai subyek hukum internasional. Teori-teori mengenai sifat hukum internasional ini kemudian membentuk kesimpulan bahwa perlakuan negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hukum internasional, sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak negara-negara lainnya. Karena hukum internasional tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran HAM suatu negara terhadap warga negaranya, maka seluruh permasalahan ini secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi domestik setiap negara. Dengan kata lain, masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara.
Dari keseluruhan alasan itulah, maka kelompok kami ingin mendeskripsikan mengenai
mekanisme penegakan hak asasi manusia internasional baik dari konsep
mekanisme, perkembangannya dari dahulu maupun implementasinya dalam
perkembangan dunia saat ini.
1.2 Perumusan Masalah
1. Apa latar belakang timbulnya mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia internasional?
2. Apakah mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia Internasional yang telah berjalan hingga saat ini?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk
mendeskripsikan latar belakang timbulnya mekanisme penegakan Hak Asasi
Manusia internasional sehingga timbul mekanisme yang telah berjalan
hingga sekarang.
2. Untuk
mendeskripsikan mekanisme penegakan Hak Asasi Manusia internasional
baik dari segi konsepsi maupun implementasinya di dalam kehidupan
pergaulan masyarakat internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Timbulnya Mekanisme Hak Asasi Manusia Internasional
2.1.1 Perkembangan Hukum HAM internasional
2.1.1.1 Masa Sebelum Perang Dunia ke-II
Hukum
HAM internasional bermula dari sejarah perkembangan doktrin-doktrin dan
institusi-institusi internasional. Yang penting diantaranya adalah
doktrin dan lembaga, intervensi humaniter, tanggung jawab negara
terhadap kerugian yang diderita orang asing, perlindungan golongan
minoritas, Sistem Mandat dan Minoritas dari LBB, serta hukum Humaniter
Internasional.
2.1.1.2 HAM dan Hukum Internasional Tradisional
Secara
tradisional, hukum internasional diartikan sebagai hukum yang hanya
mengatur hubungan antar negara. Oleh karena itu, negara merupakan
satu-satunya
subyek
hukum internasional dan memiliki hak-hak hukum menurut hukum
internasional. Definisi tradisional ini kemudian pada masa setelah
Perang Dunia ke-II diperluas hingga mencakup organisasi internasional
sebagai subyek hukum internasional yang memiliki hak-hak tertentu
berdasarkan hukum internasional.
Manusia
sebagai individu dianggap tidak memiliki hak-hak menurut hukum
internasional, sehingga manusia lebih dianggap sebagai obyek hukum
daripada sebagai subyek hukum internasional. Teori-teori mengenai sifat
hukum internasional ini kemudian membentuk kesimpulan bahwa perlakuan
Negara terhadap warga negaranya tidak diatur oleh hukum internasional,
sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap hak negara-negara lainnya.
Karena hukum internasional tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran
HAM suatu negara terhadap warga negaranya, maka seluruh permasalahan ini
secara eksklusif berada di bawah yurisdiksi domestik setiap negara.
Dengan kata lain, masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap
negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut
campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara. Namun
demikian, masih terdapat pengecualian terhadap aturan ini dalam bentuk
intervensi humaniter.
2.1.2 Generasi Perkambangan HAM Internasional
2.1.2.1 Generasi Pertama
Pemikiran mengenai konsepsi HAM era enlightenment di eropa
adanya dokumen resmi :
a. Universal Declaration Of Human Rights PBB
b. Magna Charta & bill of Rigts (Inggris)
c. Declaration of independen (Amerika)
2.1.2.2 Generasi Kedua
Konsepsi
HAM mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar
kebutuhan ekonomi, sosial dan kebudayaan termasuk hak atas pendidikan,
hak status politik, hak menikmati ragam penemuan.
Puncaknya : Internatioal Couvenant on Economic Social & Cultural Rights 1966
2.1.2.3 Generasi Ketiga
Mencakup hak untuk pembangunan atau rights development (1986)
Persamaan untuk maju bagi segala bangsa termasuk setiap individunya.
Hak berpartisipasi dalam pembangunan, Hak menikmati ekonomi,
sosial dan kebudayaan termasuk hak atas pendidikan, hak status politik,
hak menikmati ragam penemuan, distribusi pendapatan, kesempatan bekerja
Benang erah Konsepsi HAM Generasi 1,2 dan 3
•Konteks hubungan kekuasaan vertikal : Negara Vs rakyat
•Pelibatan negara sebagai crime by goverment – crimes againts goverment
2.1.2.4 Generasi Keempat
ü Mencakup
pola hubungan horizontal antar kelompok masyarakat, antara suatu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang berbeda negara
ü Hubungan ekonomi ; konsumen, lingkungan hidup, ketenaga kerjaan.
ü Kompleksitas relasi antara berbagai segmentasi atau kelompok, individu.
Fenomena Pendorong HAM Generasi 4
•TNC dan MNC
•Nation without state
•Global citizen
Hak-hak Minimal Yang Harus Ada ari Generasi HAM 1,2,3,dan 4 (76Point)
ü Hak hidup dan kelangsungan hidupKebebasan berbicara (menyatakan pendapat)
ü Hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani
ü Kebebasan beragama dan menganut kepercayaan
ü Kebebasan beribadah
ü Hak anak atas kemerdekaan berpikir, hati nurani, dan agama di bawah arahan orang tua
ü Hak atas persamaan (bebas dari perlakuan yang diskriminatif)
ü Hak diakui sebagai manusia pribadi di depan hukum
ü Hak atas persamaan di depan hukum
ü Hak persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik
ü Hak persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
ü Hak warga negara mendapatkan pelayanan pemerintahan atas dasar persamaan
ü Hak wanita menerima upah yang sama, termasuk tunjangan, untuk pekerjaan yang sama
ü Hak atas pemeriksaan dan pengadilan yang adil menurut ketetapan hukum
ü Hak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah
ü Hak atas pembangunan
ü Kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan
ü Hak terpidana mati untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman
ü Hak terbebas dari perbuatan dan perdagangan budak
ü Hak anak untuk dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan, pendidikan, atau perkembangannya
ü Hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan penyalahgunaan seksual, termasuk pelacuran dan keterlibatan pornografi
ü Hak anak untuk dilindungi dari penjualan, perdagangan, dan penculikan anak
ü Hak calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan dengan persetujuan sukarela
ü Tanggung jawab orang tua membesarkan dan mengembangkan anak
ü Hak para terdakwa yang masih remaja agar dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin dibawa ke sidang pengadilan
ü Hak wanita atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk terhadap fungsi melanjutkan keturunan
ü Hak dan tanggung jawab wanita yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan
ü Hak atas ganti rugi yang memadai atau memuaskan dari pengadilan atas segala bentuk kerugian akibat diskriminasi
ü Hak korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah atas kompensasi yang dapat diberlakukan
ü Kewajiban
negara mengutuk diskriminasi rasial dan menyusun kebijakan penghapusan
segala bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar-ras
ü Hak atas pembayaran yang sesuai dengan pekerjaan
ü Hak atas penggajian yang adil dan menguntungkan
ü Hak terbebas dari dijadikan sebagai objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan secara sukarela yang bersangkutan
ü Hak
kelompok minoritas untuk menikmati kebudayaan mereka sendiri, menganut
dan mempraktekkan agamanya, serta menggunakan bahasanya secara pribadi
maupun di depan publik, dengan bebas dan tanpa campur tangan maupun
diskriminasi dalam bentuk apa pun
ü Hak masyarakat asli untuk diakui nilai dan keanekaragaman dari identitas, kebudayaan, dan organisasi sosial mereka yang berbeda
ü Hak anak cacat fisik dan mental mendapatkan pemeliharaan, pendidikan, dan pelatihan khusus
ü Hak
ibu mendapatkan perlindungan khusus selama jangka waktu yang wajar
sebelum dan sesudah melahirkan, dan bagi ibu yang bekerja mendapatkan
cuti dengan gaji atau jaminan sosial yang memadai
ü Hak atas harta kekayaan secara sendiri atau pun bersama dalam suatu asosiasi
ü Hak membentuk serikat pekerja dan bergabung ke dalam serikat pekerja pilihannya sendiri
ü Hak untuk melakukan pemogokan
ü Hak atas kebebasan pendapat, informasi, dan ekspresi
ü Negara
akan menyediakan pemeliharaan yang memadai bagi anak jika orang tua,
wali, atau orang lain yang bertanggung jawab gagal melaksanakannya
ü Tanggung jawab negara menjamin agar terpenuhi hak anak mendapatkan pendidikan
ü Tanggung jawab pertama orang tua untuk menjamin anak mendapatkan standar kehidupan yang memadai
ü Hak untuk berkumpul secara damai
ü Hak untuk berserikat dengan orang lain
ü Hak
serikat pekerja membentuk federasi atau konfederasi nasional dan hak
konfederasi nasional membentuk atau bergabung ke dalam organisasi
serikat pekerja internasional
ü Persahabatan antar-semua bangsa dan kelompok ras, etnik, atau agama untuk memajukan kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian
ü Hak kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa untuk menjalankan agama, ibadah, atau bahasa mereka sendiri
ü Hak untuk kawin dan membangun keluarga
ü Hak
semua bangsa menentukan nasibnya sendiri yang memberikan kebebasan
untuk menentukan status politik dan untuk memperoleh kemajuan ekonomi,
sosial, dan budaya
ü Hak semua bangsa secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka sendiri
ü Hak kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan lembaga pendidikan
ü Hak
terbebas dari campur tangan sewenang-wenang atau yang tidak sah atas
kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga, atau hubungan surat-menyurat
atau pun tidak boleh diserang kehormatan dan nama baik
ü Hak anak untuk hidup dengan orang tuanya kecuali untuk kepentingan terbaik anak
ü Hak anak untuk dilindungi dari penyalahgunaan obat-obatan narkotik dan psikotropik dan dari keterlibatannya dari produksi atau distribusi
ü Kewajiban negara mencegah perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia
ü Hak
untuk terbebas dari ancaman serius terhadap kehidupan dan kesehatan
akibat pembuangan bahan serta limbah beracun dan berbahaya
ü Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
ü Negara
harus menjamin agar anak tidak terlibat secara langsung dalam
permusuhan, tidak boleh dimasukkan ke angkatan perang, dan agar anak
yang dipengaruhi konflik bersenjata dilindungi dan dipelihara
ü Hak masyarakat tradisional agar identitas budaya, termasuk hak atas tanah rakyat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman
ü Kewajiban negara membuat peraturan untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran
ü Hak atas jaminan sosial
ü Hak atas pekerjaan
ü Hak atas standar hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial yang perlu
ü Hak
untuk mendapatkan akses ke tempat atau pelayanan umum, seperti
transportasi, hotel, restoran, kafe, gedung bioskop, dan taman
ü Hak atas pendidikan
ü Hak menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya
ü Hak atas suaka di negeri lain
ü Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
ü Hak ikut serta dalam pemerintahan
ü Hak memilih dan dipilih pada pemilihan umum
ü Hak mendapatkan pelayanan pemerintahan
ü Hak asasi manusia mengandung nilai-nilai inti yaitu
ü Kebenaran (truth):
kesesuaian antara apa yang dipikir-kan, dirasakan, diyakini, atau
diamalkan dan kenyataan yang sesungguhnya; kepercayan atau keyakinan suara hati bahwa apa yang dihayati, diperjuangkan, atau diamalkan adalah baik dan benar.
ü Persamaan dan keadilan (equality and justice):
sikap, pengakuan, dan perlakuan yang sama tanpa perbedaan atas dasar
sex, ras, warna kulit, keturunan, etnik, bangsa, bahasa, kebudayaan,
atau agama (non-diskriminasi). Keadilan : pemberian apa yang menjadi hak
subjek.
ü Keadilan hukum :perlakuan yang adil dalam proses hukum dan peradilan yang adil dan benar menurut hukum.
ü Penghargaan terhadap martabat manusia (respect for human dignity): Hormat terhadap hak asasi tiap orang karena kedudukan atau harkatnya sebagai manusia
ü Integritas (integrity): keteguhan demi tegaknya moralitas dan perilaku etis
ü Akuntabilitas (accountability): tanggung jawab pribadi atas gugatan yang diajukan dan sikap menerima konsekuensi atas tindakan seseorang
ü Kejujuran (honesty): satunya kata dan perbuatan
ü Penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan (acceptance / appreciation of diversity) Manusia itu distinct but equal (berbeda-beda tapi sama) dari segi martabat kemanusiaan. Perbedaan itu harus diterima, diakui, dan dihargai/dilayani.
ü Kerja sama (co-operation): kesediaan bekerja sama antar- individu, antar-kelompok, antar-organisasi, dan antar-bangsa
ü
2.2 Mekanisme Penegakan Hak Asasi Manusia Internasional
Sejak
1960-an secara perlahan-lahan di PBB terbentuk mekanisme untuk menilai
sejauh mana negara memenuhi (observe) atau tidak memenuhi norma dan
prinsip hak asasi manusia. Mekanisme ini ada yang berhubungan dengan
situasi umum sebuah negara dan ada pula yang menanggapi pengaduan
bersifat individual Ada pula yang berhubungan dengan semua hak asasi
sementara yang lain hanya pada hak-hak asasi tertentu.
Prosedur/mekanisme
itu tergantung sejauh mana negara menjadi peserta traktat bersangkutan.
Disamping itu secara perlahan pula terbangun mekanisme yang menekankan
aspek yudisial yaitu Pengadilan Pidana Internasional Permanen (ICC)
berdasarkan Statut Roma. Aturan yang diklaim sebagai acuan dari UU
Pengadilan HAM.
2.2.1 Sistem Mekanisme HAM Internasional
2.2.1.1 Sistem Mandat
Pasal 22 Covenant membentuk
Sistem Mandat LBB yang diterapkan terhadap bekas wilayah-wilayah
jajahan negaranegara yang kalah perang dalam Perang Dunia ke-I.
Berdasarkan sistem ini, bekas koloni tersebut ditempatkan di bawah
Mandat LBB dan dikelola oleh negaranegara pemenang perang. Para Pemegang
Mandat ini setuju untuk memerintah berdasarkan prinsip bahwa kehidupan
dan pembangunan penduduk daerah Mandat merupakan “a sacred trust of civilization …”.
Negara Pemegang Mandat berkewajiban memberikan laporan tahunannya
kepada Liga mengenai tanggung jawab yang diberikannya, yang kemudian
dibahas oleh Komisi Mandat LBB. Komisi Mandat LBB kemudian secara
bertahap memperoleh kewenangan untuk mengawasi pemerintahan di daerah
Mandat termasuk mengawasi perlakuan terhadap penduduknya.
Ketika
LBB digantikan PBB , Sistem Mandat ini digantikan dengan Sistem
Perwalian, dimana PBB mempunyai kewenangan untuk mengawasi daerah-daerah
Mandat yang masih tersisa dan wilayah-wilayah yang tidak
berpemerintahan sendiri. Salah satunya adalah Namibia (Afrika Barat
Daya) ditempatkan di bawah Sistem Mandat dengan Pemegang Mandat Afrika
Selatan yang pada masa PBB selama bertahuntahun tidak mentaati segala
aturan yang ditetapkan berdasarkan Sistem Perwalian PBB. Bahkan Afrika
Selatan pada masa itu menerapkan sistem politik apartheid dan sangat
rasialist.
2.2.1.2 Standar Perburuhan Internasional
Pasal 23 Covenant sangat
erat hubungannya dengan HAM, karena menekankan pentingnya kondisi yang
adil dan manusiawi bagi buruh pria, wanita, dan anak-anak. Pasal ini pun
mendasari pembentukan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang
masih menjalankan fungsinya hingga sekarang dan merupakan badan khusus
PBB. Kegiatan legislasi dan prosedur pengawasan yang
dimilikinya telah mendorong ketaatan terhadap standar perburuhan
internasional dan telah cukup banyak memberikan sumbangan berharga
terhadap peningkatan kondisi kerja dan perkembangan hukum HAM internasional.
2.2.1.3 Sistem Minoritas
LBB sangat berperan pula di dalam pengembangan sistem perlindungan bagi golongan minoritas. Walaupun tidak tercantum di dalam Covenant,
namun kewenangan untuk melindungi kaum minoritas ini diperolehnya
melalui serangkaian perjanjian yang dibuat setelah usainya Perang Dunia
ke-I. Berakhirnya perang tersebut telah merubah peta bumi politik Eropa
dan Timur Tengah dimana lahir beberapa negara baru atau menyebabkan
beberapa Negara mendapatkan kembali kemerdekaannya. Diantaranya adalah
Polandia, Chekoslovakia, Hongaria, Yugoslavia, Bulgaria, Albania, dan
Rumania, termasuk kantong-kantong golongan minoritas berdasarkan etnis,
bahasa, dan agama.
Golongan
minoritas ini mempunyai cukup alasan berdasarkan sejarah atas
kekuatiran bahwa tata politik yang baru dapat mengancam kelangsungan
budaya mereka. Untuk itu pemerintah-pemerintah dari negara-negara
pemenang perang (Principal Allied and Associated Powers)
dan negaranegara baru membentuk perjanjian khusus untuk melindungi kaum
minoritas tersebut. Perjanjian pertama yang membentuk system
perlindungan ini adalah Perjanjian antara Principal Allied and Associated Powers dan
Polandia yang ditandatangani di Versailles pada tanggal 29 Juni 1919,
yang kemudian dijadikan model bagi perjanjian-perjanjian serupa. Pada
intinya, perjanjian-perjanjian tersebut mengharuskan negara-negara yang
menganut sistem minoritas untuk menerapkan prinsip non-diskriminasi
terhadap anggota golongan minoritas yang dilindungi dan menjamin hak-hak
khusus untuk melestarikan integritas etnis, bahasa, dan agamanya,
termasuk hak untuk menggunakan bahasanya secara resmi, hak untuk
menjalankan pendidikan dan hak untuk menjalankan peribadatan.
Untuk
menjamin penataan terhadap perjanjianperjanjian ini, setiap perjanjian
berisikan klausula yang menyatakan bahwa kewajiban untuk melindungi kaum
minoritas ini merupakan kewajiban internasional serta menempatkan LBB
sebagai penjamin penataan kewajiban tersebut. LBB bersedia menjadi
penjamin dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh para pihak
peserta perjanjian-perjanjian tersebut yang pelaksanaannya dijalankan
dengan mengembangkan suatu institusi untuk menangani petisi yang
diajukan kaum minoritas atas pelanggaran terhadap hak-haknya. Petisi
tersebut dibahas oleh Komite III LBB dan memberikan kesempatan kepada
negara-negara yang bersangkutan untuk mengemukakan pandangannya. Apabila
diperlukan, Mahkamah Internasional Permanen dapat memberikan
pendapatnya dari segi hukum.
Walaupun
beberapa perjanjian mengenai perlindungan minoritas ini masih berlaku
hingga kini, tetapi Sistem Minoritas LBB tidak dikenal lagi dalam
kerangka PBB. Namun demikian, di dalam perkembangannya kemudian tampak
bahwa kelembagaan hukum HAM internasional yang modern ternyata
menyerupai kelembagaan yang pertama kali dikembangkan oleh LBB khususnya
dalam menangani sistem minoritas. Untuk beberapa tahun sejak berdirinya
PBB tampak bahwa perhatian PBB dan lembaga internasional lainnya
terhadap perlindungan kaum minoritas sangatlah kecil. Mereka lebih
memusatkan perhatiannya kepada hak-hak individu, non-diskriminasi, dan
perlindungan yang sama (equal protection).
Dengan
berakhirnya Perang Dingin dan munculnya gelombang nasionalisme di
berbagai bagian dari dunia ini, masyarakat internasional kembali mulai
memberikan perhatiannya kepada pengembangan norma-norma dan institusi
internasional yang diperlukan untuk melindungi hak-hak minoritas. Dalam
hal ini, telah dilakukan berbagai langkah baik dalam kerangka PBB
ataupun organisasi regional Eropa.
2.2.2 Pertanggungjawaban Negara atas Kerugian Orang Asing
Pada
mulanya hukum internasional tradisional mengakui bahwa Negara mempunyai
kewajiban untuk memperlakukan warga negara asing di wilayahnya sesuai
dengan standar minimum peradaban dan keadilan. Kewajiban ini dianggap
harus dipenuhi oleh negara yang merupakan kewarganegaraan dari para
individu karena manusia tidak mempunyai hak berdasarkan hukum
internasional. Dengan demikian, apabila seseorang diperlakukan dengan
cara-cara yang melanggar hukum internasional oleh suatu pemerintahan
asing, maka Negara yang merupakan kewarganegaraan orang tersebutlah yang
berhak melakukan tindakan terhadap negara pelanggar tersebut. Apabila
terjadi kerugian yang diderita orang tersebut, maka negara yang telah
melakukan tindakan kepada Negara pelanggar memberikan ganti rugi atas
kerugian yang dideritanya kepada warga negara yang dirugikan tersebut.
Namun demikian, pembayaran ganti rugi ini tidak diatur oleh hukum
internasional.
Persengketaan
mengenai tuntutan berdasarkan hukum pertanggungjawaban negara atas
kerugian yang diderita orang asing ini biasanya diselesaikan melalui
perundingan diplomatik. Apabila ganti rugi tidak dipenuhi oleh negara
pelanggar, kadang-kadang digunakan penggunaan kekerasan. Di samping
melalui saluran diplomatik, penyelesaian sengketa ini seringkali
dilakukan melalui lembaga arbitrase ataupun lembaga peradilan
internasional. Fiksi hukum yang menyatakan bahwa kerugian yang diderita
seseorang di luar negeri merupakan kerugian dari Negara yang merupakan
kewarganegaraan dari orang yang bersangkutan, mengakibatkan timbulnya
anggapan bahwa Negara merupakan satu-satunya subyek hukum internasional.
Di
samping fiksi ini tidak memberikan perlindungan kepada orang yang tanpa
kewarganegaraan dan kepada orang yang merupakan warga negara dari
negara yang melakukan pelanggaran. Substansi hukum yang dapat
diberlakukan terhadap tuntutan negara atas nama warga negaranya
diturunkan dari prinsip-prinsip umum hukum (Lihat sumber hukum
internasional menurut Pasal 38 ayat 1 (c) Statuta Mahkamah
Internasional).
Prinsipprinsip
ini berawal dari hukum alam dan berbagai doktrin hukum nasional
mengenai perlakuan individu. Lembaga arbitrase dan peradilan
internasional menggunakan asasasas hukum dan doktrin tersebut untuk
merumuskan konsep-konsep antara lain, denial of justice dan minimum standard of justice.
Ketika hukum internasional modern memberikan pengakuan bahwa
individu,tanpa memperdulikan kewarganegaraannya, memiliki HAM tertentu
yang sangat mendasar, kemudian prinsip-prinsip substantif dari hukum
pertanggungjawaban negara yang berupa kumpulan norma-norma digunakan
untuk mengkodifikasikan hukum HAM. Karena dewasa ini terjadi evolusi
yang dramatis dan kodifikasi yang ekstensif dari hukum HAM, maka
dapatlah dikatakan bahwa hukum HAM memberikan sumbangan yang besar bagi hukum pertanggungjawaban negara.
Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa antara hukum pertanggungjawaban negara
tentang kerugian yang diderita orang asing dan hukum HAM memiliki
hubungan yang erat dan timbal balik. Sementara hukum HAM berkembang,
hukum pertanggungjawaban negara tentang kerugian yang diderita orang
asing menunjuk kepada pelanggaranpelanggaran terhadap HAM yang
fundamental, negara-negara juga menyandarkan kepada norma-norma HAM yang
kontemporer sebagai dasar tuntutan bagi kerugian yang diderita oleh
warga negaranya.
Walaupun
hukum HAM tumbuh berkembang, hukum pertanggungjawaban negara terhadap
kerugian yang diderita orang asing terus memegang peranan yang penting
di dalam hubungan diplomatic kontemporer. Negara-negara tetap mendukung
tuntutan warga negaranya, baik sebagai orang perorangan maupun sebagai
badan hukum atau korporasi. Dewasa ini tindakan berdasarkan hal ini
lebih sering digunakan dibanding dengan digunakannya hak-hak dan
kewajiban yang dituangkan di dalam perjanjian investasi bilateral dan
multilateral.
2.2.3 Hukum Humaniter
Hukum
humaniter yang merupakan cabang dari hukum internasional, sekarang
dapat diartikan sebagai komponen HAM di dalam hukum perang. Hukum ini
lebih tua usianya dibandingkan dengan hukum HAM. Perkembangannya yang
modern dapat ditelusuri dari serangkaian gagasan yang dikemukakan oleh
Swiss pada abad ke-19 yang kemudian melahirkan perjanjian internasional
mengenai aturan-aturan kemanusiaan yang diterapkan dalam melakukan
peperangan.
Gagasan
ini telah melahirkan Konvensi Jenewa 1864 yang ditujukan untuk
melindungi tenaga-tenaga medis dan rumah sakit serta mengharuskan
penampungan dan perawatan kombatan yang luka dan sakit. Konvensi ini
kemudian diikuti oleh Konvensi Hague III tahun 1899 yang berisikan
aturan-aturan kemanusiaan bagi peperangan di laut. Konvensi-konvensi ini
kemudian diperbaiki dan disempurnakan beberapa kali, yang kemudian
sekarang merupakan suatu hukum yang secara lengkap mencakup hampir semua
aspek sengketa bersenjata yang modern. Kesemuanya itu dituangkan ke
dalam Konvensi Jenewa 1949 dengan dua protokolnya.
Walaupun
hukum humaniter modern lebih dahulu lahir dibandingkan dengan hukum HAM
internasional, namun pengaruh hukum HAM dapat ditemukan di dalam hukum
humaniter. Sebagai contoh, protokol-protokol yang lahir kemudian
mencerminkan asas-asas hukum HAM modern. Perlu dicatat bahwa degoration clauses dari
hukum HAM internasional diambil dari hukum humaniter, termasuk juga
kewajiban-kewajiban para Negara peserta. Dengan demikian, hukum HAM
internasional modern mencakup juga hukum humaniter, yang berupaya untuk
memberikan perlindungan terhadap manusia baik dalam keadaan damai maupun
perang.
2.2.4 Hukum HAM Tradisional dan Modern
Hukum
internasional tradisional telah mengembangkan berbagai doktrin dan
institusi untuk melindungi berbagai kelompok manusia, seperti budak
belian, kelompok minoritas, penduduk asli, warga negara asing, korban
pelanggaran berat HAM, dan kombatan. Hukum dan praktek negara-negara
telah melahirkan dukungan konsepsual dan kelembagaan bagi perkembangan
hukum HAM internasional kontemporer. Terlebih-lebih banyak institusi dan
doktrin lama yang hidup terus secara berdampingan yang kemudian
sekarang telah membentuk bagian yang tak terpisahkan dari hukum HAM
modern. Dalam berbagai bidang tertentu, cabang hukum ini telah
terpengaruh secara keseluruhan oleh pendahulunya. Perhatian terhadap
akar sejarah hukum HAM internasional akan memberikan pemahaman yang
mendalam terhadap bidang hukum ini.
Sebagaimana
yang akan diuraikan pada bagian berikutnya, hukum HAM internasional
modern sangatlah berbeda dari yang dikenal di dalam sejarah yang
mendahuluinya, di mana manusia sebagai individu dianggap memiliki
jaminan secara internasional atas hak-haknya, dan tidak sebagai warga
negara dari suatu Negara tertentu. Saat ini telah lahir berbagai lembaga
internasional yang memiliki yurisdiksi untuk melindungi individu dari
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negaranya maupun oleh negara lain.
Walaupun mekanisme ini masih dirasakan kurang memadai dan kurang
efektif, namun kecenderungan menunjukkan bahwa instrumen dan institusi
HAM internasional yang tumbuh menjamur dibentuk untuk
mengimplementasikan hukum tersebut, sehingga internasionalisasi HAM
mengatasi harapan-harapan lain.
Perkembangan
ini pada gilirannya telah menimbulkan iklim politik yang menempatkan
perlindungan HAM sebagai hal yang terpenting di dalam agenda panggung
politik internasional kontemporer yang melibatkan pemerintah, organisasi
pemerintah, termasuk pula LSM yang memiliki jaringan internasional.
Akibatnya adalah, manusia di seluruh muka bumi ini semakin menyadari
bahwa Negara dan masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk
melindungi HAM. Harapan dari fenomena ini menimbulkan kesulitan politis
ketika banyak negara yang menolak bahwa mereka memiliki kewajiban, yang
tentu saja dapat memberikan kemudahan di dalam mendorong perlindungan
HAM secara internasional. Dengan kata lain, apa yang kita saksikan saat
ini adalah tengah berlangsungnya revolusi HAM, dimana banyak yang telah
dihasilkan tetapi masih banyak pula yang harus dilakukan. Kebanyakan
dari hukum ini telah tercantum di dalam berbagai instrumen hukum
(internasional dan nasional) dan literatur, tetapi penegakkan hukumnya
masih lemah. Dengan demikian tugas kita adalah memberikan “gigi” kepada
hukum yang antara lain dengan memperkuat mekanisme internasional untuk
melindungi HAM dan memperluas yurisdiksinya agar dapat menjangkau
seluruh pelosok dunia.
2.3 Jenis Mekanisme HAM Internasional
v Global
Ø Treaty Base
Ø Charter Base
v Regional
Ø European Human Rights Commission + European Human Right Courts
Ø American Human Rights Commission + American Human Right Courts
Ø African Human Rights Commission
v Pengadilan Pidana Internasional
Ø Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court)
Ø Mahkamah Pidana Internasional ad hoc yaitu:
§ International Criminal Tribunal for ex Yugoslovia
§ International Criminal Tribunal for Rwanda
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak asasi
adalah hak yang dimiliki oleh semua insan yang tidak dipengaruhi oleh
asal, ras, dan warga negara dan memiliki dua segi yaitu segi moral dan
segi perundangan. Hak asasi manusia (HAM) merupakan substansi dasar
dalam kehidupan bermasyarakat di dunia, yang terdiri dari berbagai macam
unsur adat istiadat serta budaya yang tumbuh dan berkembang di
dalamnya. Hukum hak asasi manusia internasional adalah hukum mengenai
perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi
secara internasional dari pelanggaran yang terutama dilakukan oleh
pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalam upaya penggalakan hak-hak
tersebut.
Masalah HAM merupakan urusan dalam negeri setiap negara sehingga negara lain tidak berhak bahkan dilarang untuk turut campur tangan terhadap pelanggaran HAM di dalam suatu negara. Saat
ini telah lahir berbagai lembaga internasional yang memiliki yurisdiksi
untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
negaranya maupun oleh negara lain. Dalam menegakkan Hak Asasi Manusia
Internasional, PBB terbentuk mekanisme untuk menilai sejauh mana negara
memenuhi (observe) atau tidak memenuhi norma dan prinsip hak asasi
manusia. Mekanisme ini ada yang berhubungan dengan situasi umum sebuah
negara dan ada pula yang menanggapi pengaduan bersifat individual Ada
pula yang berhubungan dengan semua hak asasi sementara yang lain hanya
pada hak-hak asasi tertentu.
Prosedur/mekanisme
itu tergantung sejauh mana negara menjadi peserta traktat bersangkutan.
Disamping itu secara perlahan pula terbangun mekanisme yang menekankan
aspek yudisial yaitu Pengadilan Pidana Internasional Permanen (ICC)
berdasarkan Statut Roma. Sistem – system Mekanisme HAM Internasional,
yaitu Sistem Mandat, Standar Perburuhan Internasional, dan Sistem Minoritas.
B. Saran
Walaupun
perkembangan dunia sudah semakin maju dan kompleks, selama ini
penegakan hak asasi manusia hanya diikat perjanjian bilateral
antarnegara yang sifatnya moral. Padahal di sisi lain, masyarat
internasional haruslah tunduk pada mekanisme internasional dalam hal
penegakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, instrumen internasional
sangatlah dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Perkembangan
HAM saat ini menimbulkan iklim politik yang menempatkan perlindungan
HAM sebagai hal yang terpenting di dalam agenda panggung politik
internasional kontemporer yang melibatkan pemerintah, organisasi
pemerintah, termasuk pula LSM yang memiliki jaringan internasional.
Akibatnya adalah, manusia di seluruh muka bumi ini semakin menyadari
bahwa Negara dan masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk
melindungi HAM. Akan tetapi penegakkan hukumnya masih lemah.
Dengan
demikian tugas kita adalah memberikan dorongan kepada hukum yang antara
lain dengan memperkuat mekanisme internasional untuk melindungi HAM dan
memperluas yurisdiksinya agar dapat menjangkau seluruh pelosok dunia.
Untuk melindungi berbagai kelompok manusia, seperti budak belian,
kelompok minoritas, penduduk asli, warga negara asing, korban
pelanggaran berat HAM, dan kombatan.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,
A. Masyhur. “Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia & Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM)”, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2004