Analisis Mantra Suku Tolaki
MENGANALISIS
MANTRA SUKU TOLAKI
”TANGGAWUKU
(KETAHANAN TUBUH)”
INTERPRETASI
SEMIOTIK RIFFATERRE
DI SUSUN OLEH:
J
U
N
A
R
T
O
N
NIM:
12020103023
JURUSAN SAYARIAH EKONOMI SISLAM/EI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN)
SULTAN QAIMUDDIN
KENDARI
2O1
DAFTAR ISI KATA
PENGANTAR…………………………………………………………… (ii)
BAB I LATAR
BELAKANG…………………………………………………… 1
1.1 Rumusan
Masalah……………………………………………………… 2
1.2 Tujuan
Analisis………………………………………………………… 2
1.3 Manfaat
Analisis……………………………………………………….. 2
BAB II LANDASAN
TEORI………………………………………………….. 3
2.1 Pembahasan
Mantra………………………………………………………….. 3
2.2 Teori
Semiotik……………………………………………………………….. 5
BAB III MENGANALISIS
MANTRA........……………………………………. 9
BAB IV
Penutup……………………………………………………………….....
12 Catatan…...………………………………………………………………………. 12
Saran……………………………………………………………………………... 12
DAFTAR PUSTAKA (i)
KATA
PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga analisis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan. Analisis yang berjudul Mantra Kesehatan dan Kekuatan
Tubuh Suku Tolaki: Interpretasi Semiotik Riffaterre. Tak lupa juga saya
menyampaikan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Sastra
Daerah. Tentunya dalam penyusunan makalah ini masih mempunyai banyak kesalahan.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan
agar dalam menganalisis selanjutnya lebih baik lagi. Segala saran dan masukan
sangat saya harapkan. Saya ucapkan terimakasih
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Mantra adalah sesuatu yang lahir dari
masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan atau kepercayaan. Dalam masyarakat
tradisional, mantra bersatu dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Seorang
pawang atau dukun yang ingin menghilangkan atau menyembuhkan penyakit misalnya,
dilakukan dengan membacakan mantra. Berbagai kegiatan yang dilakukan terutama
yang berhubungan dengan adat biasanya disertai dengan pembacaan mantra. Hal
tersebut tidak mengherankan mengingat bahwa terdapat suatu kepercayaan di
tengah mereka tentang suatu berkahi yang dapat ditimbulkan dengan pembacaan
suatu mantra tertentu. Mereka sangat meyakini bahwa pembacaan mantra merupakan
wujud dari sebuah usaha untuk mencapai keselamatan dan kesuksesan. Untuk itu,
keberadaan mantra menjadi penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat. Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya, mantra
ada karena ada masyarakat pewarisnya. Masyarakat sangat meyakini bahwa
pembacaan mantra merupakan wujud dari usaha untuk mencapai keselamatan dan
kesuksesan. Lahirnya mantra di tengah masyarakat merupakan perwujudan suatu
keyakinan atau kepercayaan. Kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan gaib yang
mendorong mereka untuk merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata
untuk memenuhi kebutuhan. Sebagai salah satu bentuk genre puisi lama, mantra
timbul dari suatu hasil imajinasi masyarakat dalam alam kepercayaan animisme.
Masyarakat percaya akan adanya hantu, jin, setan, dan benda-benda keramat dan
sakti. Hantu, jin, dan setan dalam anggapan mereka ada yang jahat dan selalu
mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula yang sifatnya baik. Mahluk gaib
yang bersifat baik tersebut justru dapat membantu kegiatan manusia, seperti
berburu, bertani, menangkap ikan, dan lain sebagainya. Hal tersebut hanya dapat
terjadi apabila manusia menguasai mantra tertentu. Artinya, pembacaan suatu
mantra tertentu dapat menimbulkan pengaruh magis (Lihat Hooykaas , 1952: 20).
Mantra sebagai jenis sastra lisan yang diyakini memiliki pengaruh magis
pastilah penyebarannya dilakukan secara tertutup dari generasi ke generasi.
Kenyataan itu sudah menjadi tradisi dalam suatu kelompok masyarakat sehingga
dapat dikatakan bahwa mantra adalah bagian dari tradisi lisan. Badudu (1984: 5)
mengatakan bahwa mantra adalah puisi tertua di Indonesia 1 yang penyebarannya
berlangsung secara lisan dan ketat. Setiap kelompok masyarakat tentu memiliki
tradisi dan sastra lisan. Demikian pula dengan kelompok masyarakat suku Tolaki
di Sulawesi Tenggara. Namun dikalangan masyarakat suku Tolaki mantra tidak
begitu popular lagi, hal ini dikarenakan oleh pengaruh kehidupan yang semakin
modern, sehingga sebagian besar masyarakat tidak begitu percaya terhadap
mantra. 1.2 Rumusan Masalah Pentingnya melakukan analisis terhadap mantra
Kekuatan Tubuh dalam masyarakat suku Tolaki tersebut yaitu:
1)
Bagaimana kandungan makna mantra “Tanggawuku” suku Tolaki berdasarkan pembacaan
heuristik dan hermeneutik?
2)
Bagaimana matriks dan model yang terdapat dalam mantra “Tanggawuku” suku
Tolaki?
3) Bagaimana hubungan intertekstual mantra
“Tanggawuku” suku Tolaki dengan teks lain?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pembahasan Mantra Mantra bisa diartikan sebagai susunan
kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung
kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi
kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001). Dalam sastra
Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur, cuca,
puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer
di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya
lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti
pawang dan bomoh (dukun). Menurut orang Melayu, pemacaan mantra diyakini dapat
menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu. Mantra
adalah bunyi, suku kata, kata, atau sekumpulan kata-kata yang dianggap mampu "menciptakan
perubahan" (misalnya perubahan spiritual). Jenis dan kegunaan mantra
berbeda-beda tergantung mahzab dan filsafat yang terkait dengan mantra
tersebut. Mantra (Dewanagari: मन्त्र;
IAST: mantra) berasal dari tradisi Weda di India, kemudian menjadi bagian
penting dalam tradisi Hindu dan praktik sehari-hari dalam agama Buddha,
Sikhisme dan Jainisme. Penggunaan mantra sekarang tersebar melalui berbagai
gerakan spiritual yang berdasarkan (atau cabang dari) berbagai praktik dalam
tradisi dan agama ketimuran. Khanna (2003: hal. 21) menyatakan hubungan mantra
dan yanra dengan manifestasi mental energi sebagai berikut: Mantra juga dikenal
masyarakat indonesia sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan tertentu (maksud
baik maupun maksud kurang baik). Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis puisi
lama yang mengandung daya magis. Setiap daerah di Indonesia umumnya memiliki
mantra, biasanya mantra di daerah menggunakan bahasa daerah masing-masing. 3
Jenis-Jenis Mantra Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis
berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu:
1)
Mantra untuk pengobatan;
2) Mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri;
3) Mantra untuk kejahatan
4) Mantra untuk pekerjaan;
dan
5) Mantra adat-istiadat. Dari segi bentuk,
mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang
tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap
baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar
dipahami.
Adakalanya, dukun
atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia
2.2.
Teori Semiotik
Semiotik
adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku
bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Semiotik mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Ferdinand de Saussure dikutip Piliang (2003: 256)
mendefinisikan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa
semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial
(social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami
maknanya secara kolektif. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Zaidan,
2002: 22). Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya
merupakan himpunan tanda-tanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan,
dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dua
tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce
(1839–1914 ) dan Ferdinand de Saussure (1857–1813) mengemukakan beberapa
pendapat mereka mengenai semiotik. Saussure menampilkan semiotik dengan membawa
latar belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan semiologi,
sedangkan Peirce menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan
semiotik. Peirce mendudukkan semiotika pada berbagai kajian ilmiah (Lihat
Zoest, 1993: 1–2). Dalam menganalisis mantra ini, konsep semiotik yang akan
digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Saussure yang
dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep
semiotik yang dikembangkan oleh Riffaterre, Konsep dan teori yang digunakan
Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotik yaitu
pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Dalam Semiotics of Poetry
(1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan
puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut: a.
Ketidaklangsungan Ekspresi Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi
itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep
setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi
adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai
sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak 5
langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari.
Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya.
Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan
pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo,
2005: 124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978: 2)
disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam
representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis (hubungan langsung
antara kata dengan objek). b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Pembacaan
heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama
untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik
merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh.
Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk
kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. Pembacaan hermeneutik
menurut Santosa (2004: 234) adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya
satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2005: 137)
mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik
pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur
kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu
bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan
ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan
matriks (Lihat Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh
Riffaterre (dalam Selden, 1993 :126) dapat diringkas sebagai berikut. 1)
Membaca untuk arti biasa. 2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal
dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa. 3) Menemukan hipogram, yaitu
mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks. 4) Menurunkan matriks dari
hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat
menghasilkan hipogram dalam teks. 6 c. Matriks dan Model Matriks tidak hadir
dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah
teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan
sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan
oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak
pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase.
Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa
kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model
itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi
kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.
Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks
merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas
derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam
bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian
ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra
“Tanggawuku” suku Tolaki. d. Hubungan Intertekstual Karya sastra tidak lahir
dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum
karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang
tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang
sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi
yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan
revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu,
untuk memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus
diperhatikan. Mantra “Tanggawuku” suku Tolaki misalnya, mantra ini tidak terlepas
dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang
keberadaannya. Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra
baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya
sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh
Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah
teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Adat-istiadat,
kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah
teks. 7 Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang
menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus. Sebuah karya sastra
seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena
menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra
yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh
Riffaterre (1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat
diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:
65). Sebagai contoh, berikut adalah sebuah mantra melaut suku Bajo yang secara
intertekstual memiliki hubungan dengan hadits nabi Muhammad SAW.
BAB
III
ANALISIS
MANTRA INTERPRETASI SEMIOTIK RIFFATERRE
3.1
Mantra Ketahanan Tubuh: “Tanggawuku” Bismillahirrahmanirrahim Nabihaluru
nabihelere Patonggopa owuta Patonggopa wotolu Iwoi dumagai’aku Nggo meokanggona
Pehere-here’anggu Ombu ta’ala Pepoi-poindi’anggu Nabi Muhammad 1) Pembacaan
Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik Mantra ini merupakan mantra
yang digunakan untuk membuat tulang kuat agar tidak mudah lelah. Mantra ini
dilafazkan dalam rangka untuk meminta kesehatan badan dalam beraktivitas
sehari-hari. Seperti pada umumnya, mantra ini pun dimulai dengan basmalah. Hal
ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan oleh pengguna
mantra diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Larik pertama,
Bismillahirrahmanirrahim berarti “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang”. Nabihaluru nabihelere pada larik ini memiliki dua makna
yang berbeda. Nabihaluru yang berati “nabiku”. Nabi yang dimaksud adalah nabi
Muhammad, yang menjadi teladanku. Nabihelere berarti “nabimu”. Kata dalam
bahasa Arab adalah sebutan untuk orang yang menjadi pilihan Allah SWT untuk
menerima wahyunya. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Tolaki dan
digunakan dalam penggunaan mantra. Dalam bahasa Inggris, kata nabi sepadan
dengan kata prophet. Kata patonggopa berarti “empat bagian”. Kata owuta berarti
“tanah”, tanah merupakan permukaan bumi. Patonggopa pada larik keempat sama
artinya pada larik ketiga yaitu “empat bagian”. Wotolu yang berarti “tubuh”,
tubuh adalah keseluruhan jasad 9 manusia atau binatang dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Iwoi yang berarti air, yang menjadi sumber kehidupan makhluk
hidup. Dumagai’aku pada kata ini terdiri dari dua kata yang berbeda makna,
dumagai berarti “yang menjaga”, dan aku berarti saya. Nggo yang berarti “akan”.
Meokanggona berarti “disetiap capekku”. Pehere-here’anggu berarti “tempatku
bersandar”. Ombu ta’ala yaitu Allah SWT, Allah ta’ala adalah sesuatu yang
diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa atau Maha
Perkasa penguasa jagat raya ini. Kata pepoi-poindi’anggu berarti “tempatku
berpegang”. Nabi Muhammad yang berarti “Rasulullah SAW” yang ditugaskan oleh
Tuhan untuk menyampaikan ajaran agama Islam. b. Pembacaan Hermeneutik Mantra di
atas sesungguhnya sudah mengimplikasikan keinginanan si pembaca mantra untuk
memperoleh pertolongan dari Tuhan. Pertolongan yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah berupa kesehatan tubuh dan tubuh yang kuat. Mantra ini juga
menggambarkan sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan Muhammad SAW
sebagai rasul yang dipercaya oleh-Nya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
umat manusia. Gambaran mengenai sikap penyerahan diri kepada Tuhan terdapat
pada larik kedua mantra, yaitu pehere-here’anggu Allah ta’ala. Kalimat ini
mengimplikasikan kepada Allah SWT sebagai tempat bersandar diri memohon
pertolongan dan perlindungan, Nabi Muhammad sebagai teladan dan pedoman hidup
bagi umat manusia. Semua yang terjadi di dunia adalah karena kehendak-Nya.
Allah taala adalah pencipta seluruh jagad alam dan yang berhak untuk menentukan
segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya. Kepada-Nyalah semua makhluk harus
tunduk dan taat dengan segala perintah dan larangan-Nya, dan memohon
perlindungan serta kesehatan jasmani dan rohani. Jiwa dan raga ini adalah
milik-Nya, kapanpun Dia dapat membuatnya sakit dan kapanpun dapat mengambilnya.
Nabihuluru nabihelere mengimplikasikan pada nabiku nabimu adalah sama. Muhammad
dalam hal ini adalah sebuah simbol kekuatan. 2) Matriks dan
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi,
Hasan., dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III). Jakarta: Balai
Pustaka. Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre
dan Roland Barthes”.
Rusyana,
Yus dan Raksanegara, Ami. 1978. Sastra Lisan Sunda: Cerita Karuhan, Kajajaden,
dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar